Imam Yudhianto Soetopo, SH, SE, MM
(Analis Pemberdayaan Masyarakat, Tim Lomba Desa Kabupaten Magetan)
Perlombaan Desa dan Kelurahan sebagai program kerja nasional
Kementerian Dalam Negeri melalui agenda program Direktorat Jenderal PMD (Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), telah berlangsung semenjak
era orde baru hingga era sekarang ini. Lomba desa pada awalnya dicanangkan sebagai
langkah strategis untuk memetakan potensi desa serta mendorong partisipasi
keswadayaan masyarakat. Lomba Desa dilaksanakan berdasarkan Permendagri 13/2007, dengan
tujuan untuk membingkai inovasi dan implementasi tata kelola pemerintahan desa
yang akomodatif terhadap program pembangunan. Serta menjadi
"instrumen" untuk menakar sejauh mana konsep pembangunan bisa diimplementasikan
di desa.
Dalam kamus penulis, Lomba Desa/Kelurahan yang dilakukan secara
sinergis-menasional memiliki beberapa visi aktual dan idealis;
Pertama, menjadi alat (social tools) untuk mengkomparasikan keberhasilan
pembangunan desa dalam rangka kepentingan pilot project nasional. Pilot Project
Nasional yang menjadi "mikroskopis" untuk menentukan dimensi
keberhasilan dan kendala pembangunan di desa.
Kedua, sebagai media untuk mendorong inisiatif kawasan perdesaan dalam
mengoperasionalisasikan program kerja pemerintahan yang local clean government
sekaligus memajukan prinsip dasar keswadayaan lokal berbasis partisipasi masyarakat.
Ketiga, menjadikan desa sebagai barometer perkembangan wawasan ke arah
kemajuan kualitatif dan sekaligus kuantitatif. 8 (delapan) Indikator penilaian lomba desa
yang berrelasi erat dengan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, keamanan dan ketertiban partisipasi masyarakat, pemerintahan desa/kelurahan, kelembagaan desa/kelurahan, dan PKK menjadi
pengukur kondisi kemajuan desa secara periodik.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDzP1lnixRQ3wY0NhdGITXWHTVbb1iiMBHNT7-ztf8tDZPjytrdqFGFYV07q8ZcilccdpKxacxwM0D8W2ZhRI2C0IEvf6N4jL_hc58yFwwzJaXFIY-FT-_Wt_Gsy-dmCUtCq0jwZHMdUcZ/s320/L73.jpg)
Dengan model lomba dari level akar rumput tersebut diskenario yang
menjadi juara lomba desa benar-benar memiliki potensi unggulan dan merupakan
desa yang terpilih (the Best choice for village). Sehingga tidak ada pesanan
yang sifatnya top down atau dari atas.
Namun dalam kenyataan Lomba Desa/Kelurahan penuh dengan
disorientasi dan berbagai praktek yang tidak sehat, Sehingga
dampaknya tidak sesuai rencana yang idealis, bahwa lomba desa menjadi momen
akselerator kemajuan pembangunan di desa. Justru dampak penyelenggaraan lomba
desa, yang penulis alami beberapa tahun adalah sebagai berikut:
Pertama, lomba desa menciptakan oligarkhi elite desa. karena lomba desa
ditengah kultur masyarakat yang patrimonial yang menganu kekerabatan yang
berbudaya "patron" dan "client", mendorong tampilnya elite
desa yang memegang kebijakan atas program pembangunan di desa. Oligarkhi elite
tersebut yang mengendalikan proses aktivasi lomba desa dan berbagai "laba
ekonomis" dari hasil kemenangan. Pengertian mudahnya : pemenang lomba desa
akan mendapatkan kucuran proyek-proyek pembangunan,
dan proyek-proyek tersebut dikendalikan oleh segelintir pemangku kepentingan di
desa.
Kedua, lomba desa menciptakan disharmoni antar komunitas. pengalaman
penulis yang turut terlibat dalam ajang lomba desa skala regional dan nasional
sejak tahun 2005 sampai 2012, lomba desa justru membuat kencang konflik antar
masyarakat yang memiliki persepsi berbeda-beda tentang perlu dan tidaknya lomba
desa serta signifikansi hasil lomba desa.
Ketiga, mengkontaminasi psikokultural masyarakat desa. Masyarakat desa
yang memiliki kearifan lokal, dipaksa masuk dalam sistem budaya birokrasi serta
tradisi menerima bantuan program yang acapkali tidak dibutuhkannya. masyarakat
desa akhirnya menjadi objek program yang turunnya dari atas. Turunnya berbagai
bantuan program ke desa mendorong hadirnya budaya sosial yang kapitalistik.
Ukuran kerja gotong royong dinilai dengan standar rupiah, aktivitas
pemerintahan didorong bermotif ekonomis. Serta berbagai mekanisme administrasi
program yang diselipi budaya korupsi.
program yang diselipi budaya korupsi.
Perlombaan Desa / Kelurahan selama bertahun-tahun tidak
menciptakan kondisi multiplier effect yang sifatnya kawasan. Artinya desa-desayang
memenangkan lomba desa tidak mampu mendorong desa-desa satu berikat (kawasan)
untuk maju dan mengelola desanya agar kualitas setaraf kualitas dengan desa
yang menjadi pilot project percontohan lomba desa.
Keberhasilan lomba desa sering kali
bersifat "semu" dan "manipulatif", karena penilaian seringkali
didasari faktor subjektif dan oleh praktek gratifikasi. Hal tersebut memang
sulit dibuktikan namun bisa dirasakan. Pemenang lomba desa umumnya adalah desa "yang
bisa dipoles" agar seolah nampak menjadi desa yang berhasil.
Ibaratnya seperti pengantin yang dimake-up agar nampak cantik ketika disunting
oleh pasangannya.
Lomba Desa akhirnya mengalami disorientasi dan dijadikan arena untuk
menambah koleksi dan kebanggaan semu daerah. Disorientasi karena tidak
sesuai dengan visi awal lomba desa.
Untuk mengembalikan ruh lomba desa, diperlukan penyegaran konsep dan
praktik operasional lomba desa. Ruh lomba desa adalah sebuah kompetisi prestasi
antar desa dengan memperhatikan potensi unggulan dan komprasi kinerja tata
pemerintahan desa yang benar-benar clean government.
Lomba Desa harus diorientasikan pada upaya pemetaan kondisi desa masa
kini. masa lalu, dan masa depan. Pemetaan yang mendorong hadirnya program
pembangunan yang tepat sesuai kepentingan aktual masyarakat.
Lomba Desa seharusnya bisa mendorong meningkatnya partisipasi kolektif
masyarakat dalam bingkai skema "program" pembangunan dan tidak terjebak dalam
ritus proyek yang ujungnya adalah kepentingan rupiah. Untuk itulah moratorium
lomba desa perlu dilakukan. Perlu pemikiran ulang dan review menyeluruh atas
praktik operatif lomba desa
selama ini.
Perlombaan Desa dan Kelurahan diharapkan ke
depan dapat menjadi alat perubah sosial (social politic engineering) bagi desa dan kelurahan untuk
berbenah diri dan lebih mandiri dengan upaya dan bingkai pemberdayaan masyarakat.Semoga...
Tulisan ini pernah dimuat di koran suara rakyat, mei 2011
Tulisan ini pernah dimuat di koran suara rakyat, mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar